Sabtu, 25 Maret 2017

Pokok Keempat

Pokok Keempat
DALAM DULU, BARU LUAR


Mari kenali diri sebelum kita aktif di luar, aktif dalam kehidupan nyata. Pertanyaannya adalah, “Siapa saya?” Katanya, “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengetahui untuk apa dia terlahir ke dunia” sehingga dalam artian yang lebih dalam, kalimatnya menjadi “Barangsiapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”.

Jadi, penting sekali untuk melihat kedalam lebih dahulu sebelum keluar. Apa yang dilihat di dalam? Bisa banyak, tapi saat ini mari kita mulai dengan melihat kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang berasal dari dalam. Akan terlihat bedanya, antara kebahagiaan di dalam dan kebahagiaan yang berasal dari luar.

Kebahagiaan yang berasal dari luar itu bersyarat, butuh usaha, butuh perjuangan untuk mendapatkannya, butuh proses yang mesti dijaga dan diperhatikan, butuh waktu, butuh modal, dan seterusnya.

Misal karir dan bisnis. Ingin bisnis sukses atau karir meningkat, maka Anda butuh usaha dan kerja keras. Bikin jaringan sana sini, membuat proposal bisnis, mengevaluasi berulang-ulang, membuat perencanaan dari satu perencanaan ke perencanaan lainnya. Ada banyak hal yang perlu dilakukan, banyak waktu dan fokus yang Anda curahkan agar bisnis dan karir bisa terus berkembang dan akhirnya sukses. Demikianlah para pebisnis dan para pendaki karir menjadi agresif. Sayangnya, apabila tidak bijak dalam filosofi hidup, seringkali mereka lupa untuk berhenti berlari dalam mengejar kesuksesan dan menikmati apa yang sudah diraih.

Tangga kesuksesan tidak ada habisnya, setelah satu tangga kesuksesan diraih, mesti selalu siap-siap mengejar kesuksesan selanjutnya, karena bila tidak, menurut pikirannya, posisi sukses bisa direbut orang lain. Jadilah sukses tanpa syukur itu ibarat minum air laut, makin diminum makin haus – tidak akan ada akhirnya kecuali air laut bisa Anda minum sampai habis.

Apalagi? Cinta, keluarga, semua yang membutuhkan perjuangan, ingin anak-anak sekolah dengan baik harus berjuang, ingin rumah lebih baik, ingin direnovasi, ingin lebih gede, bahkan sekedar ingin di-cat lagi karena cat lama sudah pudar, pun semua ada harganya, harus dibayar dengan usaha dan perjuangan yang pada dasarnya tidak mengenakkan.

Selanjutnya apalagi? Ingin mobil mewah, yang lebih sporty, lebih mahal, lebih bergengsi. Anda mesti berjuang, mesti diusahakan, Anda berpikir, bekerja keras, dan seterusnya. Demikianlah beberapa contoh kebahagiaan yang berasal dari luar diri. Bisnis, karir, cinta, keluarga, anak-anak, rumah, kendaraan, posisi, jabatan, dan lain-lain.

Nah, ini yang penting, mohon perhatikan, saya sama sekali tidak bermaksud bilang bahwa kebahagiaan dari luar atau kenikmatan materialistis itu salah, bahwa materi itu tidak untuk dinikmati, bukan, bukan seperti itu sama sekali. Selama masih hidup adalah alamiah bahwa kita ingin menikmati kebahagiaan dari materi, dan bahwasannya sesungguhnya demikianlah semua kebahagiaan yang bersifat duniawi adalah diberikan Tuhan untuk manusia. Kepada manusia manapun, namun khusus untuk manusia yang menjalani dengan baik dan benar prosesnya, selain bahagia materi akan mendapat juga bahagia jiwa.

Sehingga yang ingin dipesankan disini adalah kebahagiaan materi mesti berasal dari kebahagiaan jiwa, dan kebahagiaan Jiwa mesti jadi pijakan dari kebahagiaan Materi, sehingga bisa diistilahkan bahwa yang kita kejar semestinya adalah kebahagiaan Materi yang berasal dari Jiwa atau berlandaskan Jiwa.


Saya ingin memberi Anda semangat untuk berusaha atas semua dan segala bentuk kebahagiaan yang baik. Ayo kita lakukan, kita buktikan bahwa kita bisa dan pantas meraih kecukupan. Hidup berkecukupan adalah hidup pas pasan yang kita harapkan, yaitu pas ketika ada yang kita butuhkan, pas ada. Dan yang lebih dari itu adalah hidup pas pasan kedua, yaitu pas ketika ada yang kita inginkan, pas ada juga.

Kita berjuang menjalankan usaha keseharian berdasarkan minat dan bakat yaitu ada pada diri kita, inilah makna dari mengubah nasib yang diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya,
“Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang, sebelum orang itu mengubah apa yang ada pada dirinya.”

Tentu tidak cukup dengan mengandalkan daya kita sendiri yang sungguh sangat terbatas, terbukti sangat terbatas karena biarpun usaha sudah dilakukan sekuat-kuatnya hasil yang diinginkan tidak selalu diperoleh. Oleh karena itu kita perlu untuk menempatkan keseimbangan berusaha sebaik-baiknya dengan berserah diri sebesar-besarnya kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada saat bersamaan muncullah keyakinan yang kuat untuk bisa meraih apa yang sepertinya tidak mungkin untuk bisa dicapai.

Jadilah agresif secara pantas, dan tekadkan di jiwa bahwa perjuangan Anda dalam berusaha adalah kebanggaan Anda sebagai manusia, harga diri Anda sebagai makhluk Tuhan yang Mulia, berusaha sebaik mungkin adalah menghargai jati diri Anda yaitu siapa Anda, yang muncul dalam bakat dan nasib sejauh Anda hidup selama ini. Sehingga hendaklah dilihat bahwa “berusaha” bukan sekedar untuk mencari dan mengumpulkan uang saja.

Sungguh, tidak salah sama sekali ketika Anda berjuang untuk mengejar kebahagiaan, jadilah diri Anda yang terbaik karenanya.

Sampai disini, saya akan bercerita tentang pengalaman saya di dunia karir. Dimulai dari bekerja di perusahaan kecil sampai saat tulisan ini dibuat, saya bekerja di sebuah perusahaan Multi Nasional dari Amerika, dengan posisi di kartu nama sebagai Sector Director, memimpin perkembangan bisnis perusahaan untuk sektor maritim dari perusahaan, di area Indonesia. Adakalanya bagi kita yang bekerja sebagai professional, tentu familiar dengan kondisi naikturun di pekerjaan yang berefek pada naik-turun perasaan di dalam.

Ada rasa takut dan khawatir, takut target penjualan dan penyelesaian proyek jauh dari tercapai, dan ada kalanya muncul rasa malas untuk melakukan apapun, nge-drop semangatnya, karena sesuatu dan lain hal, apapun itu. Kepada siapapun yang paham kondisi ini, saya ingin mengatakan bahwa saya pernah dalam kondisi tersebut, sebelum kemudian mendapatkan pengetahuan mengenai kebahagiaan yang berasal dari keberserahan diri pada Tuhan, karena memang berasal dari dan berfokus kepada Tuhan, maka kebahagiaan ini marilah kita sebut sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Nah, yang saya alami setelah mempraktekkan ide dari Kebahagiaan Jiwa, yaitu menyandarkan kebahagiaan kepada penerimaan, yang terjadi adalah saya berhenti merasa takut, khawatir, malas, dan lain-lain, saya fokus kepada apa yang membuat saya semangat, memahami apa yang menjadi bakat alamiah saya dan melakukan apa yang saya suka/minat sebisanya dan sebaik-baiknya.

Saya boleh jadi lebih agresif namun lebih tenang, lebih kreatif, muncul banyak ide, dan lebih sedikit stresnya, kenapa? Karena perasaan keterikatan semakin minim, yang dilakukan seharihari lepas dan bebas. Kalaupun kondisi di luar sedang turun, sedang sulit dan susah, maka tidak membuat perasaan nge-drop berlebihan lagi, saya bisa secara berkesadaran lebih mampu memilih respon atas apa yang terjadi dengan bijak, berlandaskan kepada kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa.

Di malam itu, ketika pertama kali menemukan kesadaran ini, saya berkata, “Cukup! Cukup sudah saya terombang-ambing dalam kekhawatiran dan takut soal pekerjaan dan hidup, soal ini itu, soal apapun juga, cukup sudah kekawatiran saya mengenai kondisi finansial, mengenai semakin sulit dan terbatas waktu untuk meraih target penjualan, dan apapun itu! Cukup sudah akan kondisi ini-itu yang tidak menyenangkan dan menakutkan, yang membawa kepada sedih, susah, duka, derita, dan sengsara. Cukup, cukup, cukup dan cukup! Saya ingin Merdeka!!”

Saya berkata pada diri sendiri. Saya bertekad, tidak akan melakukan apa pun yang berhubungan dengan hal di luar diri, tidak mau mengusahakan apapun dulu. Saya maunya masuk ke dalam diri dulu, untuk lebih mengenal diri  sendiri, khususnya untuk bisa bahagia dulu di dalam diri, sebelum kembali beraktifitas.

Bahasa lainnya adalah, saya bilang pada diri sendiri, sebelum memasuki dunia nyata, saya mau masuk dulu ke dalam dunia Jiwa yang berisi kebahagiaan tanpa syarat, sebuah istana di awan yang didalamnya tidak ada duka, derita, dan sengsara.

Mulailah saya mengambil posisi hening, sadar napas, dan mengakses suatu rasa bahagia dan tenang dalam keberpasrahan. Ajaib saya rasa, diluar dugaan, ketika melakukan itu berulang beberapa kali, ternyata tidak perlu waktu lama, untuk tiba-tiba „cling‟, semangat kerja yang tadinya nge-drop muncul kembali, saya merasa siap untuk bekerja lagi, siap untuk menghadapi dunia nyata lagi.

Karena sudah dibangun fondasi di dalam dan ada daya di dalam yang tak kena kondisi luar, saya menjadi lebih siap untuk bekerja produktif. Menyadari bakat yang saya miliki, kemudian menyertainya dengan kepasrahan, dilanjutkan munculnya akses kepada rasa bahagia, tenang, damai, dan semangat, hasilnya, luar biasa. Saya menjadi produktif, sehingga bahkan bisa men-triple-kan hasil sehari-hari dari kondisi sebelumnya yang memble. Saya simpulnya dalam bahasa sederhana bahwa modalnya adalah penerimaan diri kita dan hiduo yang kita jalani.

Saya merasa senang, efek dari kebahagiaan di dalam atau spiritualitas tidak membuat saya menjadi seorang petapa, seperti sebagian orang yang menjalani laku spiritualitas dan kemudian lari dari kenyataan. Atau pemalas, yang panjang angan, menanti langit memberi berkah tanpa ada usaha nyata yang dilakukan sebagai bagian dari manifestasi badan fisik kita.

Petapa

Wahai para pelaku spiritual di Indonesia, teman-temanku sekalian, ketika kita naik ke langit, di dalam diri kita, kita harus tahu bahwa kita mesti turun lagi ke bumi, karena kita masih hidup, jasad masih bersama kita, realita kebendaan masih ada untuk kita. Jadi, turunlah lagi, namun turunlah dengan tidak sebagai diri yang lama, gunakan hal perihal kejiwaan untuk mencipta hasil yang lebih bermanfaat, lebih banyak, dan lebih bisa dinikmati secara bersama, bukan sekedar oleh kita dan untuk kita saja. Jangan terus memandang langit selama kaki kita masih menyentuh bumi, nantinya bisa kejadian jiwa kita tidak diterima langit dan bumi (gentayangan).

Lalu, setelah kejadian di malam itu, apakah berarti masalah kehidupan yang saya alami menjadi tidak ada? Tidak sama sekali. Masalah akan selalu ada, level dan variasi masalah akan selalu ada bersama naik turunnya kehidupan, yang akan selalu menemani kita.

Namun, kita jadi tidak menjadi gentar karenanya, sebaliknya, sebisanya kita menikmati. Melihat semua sebagai bagian dari kenyataan akan hidup, kiranya Tuhan yang Maha Kuasa membawa kita melalui berbagai pengalaman hidup untuk semakin dekat denganNya, dalam perjalanan kembali menuju ketiadaan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar