Sabtu, 25 Maret 2017

Pokok Kedua

Pokok Kedua
BADAN, PIKIRAN, PERASAAN, JIWA, DAN RUH

Bagian ini ceritanya adalah tentang "4 sehat dan 5 sempurna", disini saya mulai dengan melanjutkan pembagian manusia di Pokok Pertama menjadi empat bagian penyusunnya dengan yang kelima sebagai kesempurnaannya.



Kita akan menganalogikan dengan nama, ada lima hal yang menyusun diri kita, yang empat dari lima itu bernama sementara yang kelima tidak. Yang empat itu "kena nama‟, yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kita.

Contohnya, Papah dan Mamah saya memberi nama Aryandi Yogaswara, maka nama itu menetap di <yang pertama> tubuh saya, inilah tubuh Aryandi Yogaswara, rambutnya begini mukanya begini, telinganya begini, badannya begini, perutnya begini, dan seterusnya nama pemberian orang tua menempel di tubuh saya ini, kemudian nama ini nempel dimana lagi?

Adalah menempel <yang kedua> di pikiran saya, inilah pikiran seorang Aryandi Yogaswara, beginilah saya berpikir, ini pikiran saya, saya tahu, orang lain tahu, dan yang kenal saya tahu bagaimana pola pemikiran saya.

Kemudian, nama ini menempel di <yang ketiga> perasaan kita, perasaan adalah turunan dari pikiran, yang dari situ muncul karakter kita, kepribadian kita, dan semua tentang kita yang selama ini yang dikenal baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

Kemudian nempel kemana lagi? <Yang keempat> adalah menempel ke jiwa, jiwa ini adalah kata yang ada di lagu Indonesia Raya “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, tapi jiwa yang kita maksud ini apa? Jiwa yang dimaksud di sini tidak lain adalah esensi diri kita yang menghidupi badan.

Dalam tataran spiritual, yang menggerakan tubuh adalah jiwa. Yang melihat, mendengar, menyentuh, berbicara, berpikir, dan menjadikan semua bagian tubuh berfungsi adalah jiwa. Badan adalah alat bagi jiwa untuk berada di alam dunia.

Barulah setelah yang ke empat, kita akan bisa sampai kepada yang kelima. Kelima adalah kesempurnaannya, kita sebut ini adalah Ruh. Ruh ini sifatnya sudah bukan lagi tentang diri kita lagi saja, namun kesatuan dari semua jiwa. Ruh adalah esensi yang sama yang ada di setiap jiwa manusia maupun alam.

Mari kita lihat sekilas mengenai empat sehat lima sempurna ini dari istilah tua di kebudayaan kita, khususnya di kebudayaan suku Sunda dan Jawa ada istilah “sedulur papat kalima pancer”, di buku ini, ijinkan saya secara sangat singkat menceritakan filosofi sedulur papat kalima pancer berdasarkan apa yang saya pahami. Begini ceritanya:

Dulur pertama ada pada diri kita, yaitu tubuh kita, dulur kedua adalah diri kita juga yaitu pikiran kita, dulur ketiga yang lebih tua dari kedua dulur sebelumnya, adalah perasaan kita, dan dulur paling tua kita yang keempat adalah jiwa kita, baru setelah yang ke empat bersinergi, yang kelima muncul, pancer, Ruh yang dengannya kita menyadari keberadaan kita adalah bagian dari seluruh penciptaan yang saling berhubungan dan saling bergantung.

Dari sini awal tatanan sosial dibangun, yaitu dengan menyadari bahwa kita hidup bersama dalam satu kesatuan. Sehingga apa yang kita lakukan mestilah selalu seimbang, seimbang berarti tidak melakukan perbuatan yang merugikan manusia dan alam, karena semua itu bagian dari diri kita.

Apabila kita melakukan ketidak seimbangan dengan perbuatan yang merusak alam atau merugikan sesama manusia, maka hakikatnya kita sedang menanam perbuatan yang pada saatnya akan merugikan diri kita sendiri.


Kita perhatikan karakter ke empat punakawan, pertama Bagong, paling muda, sederhananya itu adalah tubuh fisik dengan keinginan dan kebutuhan paling sederhana, batasan hitam dan putihnya jelas, lapar-makan-kenyang, kebutuhan seks dipenuhi dengan melakukan hubungan badan maka puaslah sudah, sesederhana apabila haus, maka minumlah.

Kemudian yang kedua adalah pikiran, ini Petruk, pikiran yang sering membawa hidup jadi susah, pikiran yang egois dan ingin menang sendiri, pikiran yang ingin berkuasa atas orang lain, kekuasaan pikiran adalah kekuasaan yang didapat dengan memanfaatkan orang lain, kepemimpinan karena jabatan atau kekuatan yang sedang dia pegang.

Ketiga adalah perasaan, Gareng atau Cepot, "perasaan‟ ini karakternya adalah menjadi pemimpin karena disukai, dicintai oleh mereka yang dipimpinnya, kalau jadi pemimpin, bukan jadi berwibawa karena kursi jabatannya, tapi dari bagaimana dia menyayangi bawahannya sehingga para bawahan pun menyayangi dia, bukan karena posisinya adalah suami sehingga menjadi lebih tinggi dari istri,  tetapi karena dia suami yang bertanggung jawab, suami yang penuh kasih sayang, sehingga istri pun rela dipimpin oleh sang suami.
Juga seorang ayah yang dilihat dari keayahannya, yang sayang kepada anak-anaknya sehingga anak-anak pun menjadi sayang dan menurut kepada sang ayah.

Yang terakhir Semar, inilah yang diibaratkan kesadaran tentang Ruh, adalah yang paling tua, paling senior, dan paling dahsyat. Karena demikianlah stratanya, pikiran menguasai gerak tubuh, perasaan menguasai gerak pikiran dan karenanya tubuh juga, dan jiwa yang lebih dalam dari perasaan, pikiran, dan badan, itu tentu pada dasarnya menguasai semuanya. Dan terakhir, kesadaran tentang jiwa-jiwa yang satu akan membuahkan kesadaran sosial yang tinggi, dengannya kebahagian pribadi sempurna karena sudah memahami bahwa kebahagiaan yang hakiki hanya bisa diperoleh dengan gembira atau bahagia bersama.

Perhatikan badan kita, semua anggota tubuh adalah alat, mata adalah alat untuk melihat, telinga adalah alat untuk mendengar, tangan dan kaki dan semua badan adalah alat, demikian juga semua organ tubuh adalah alat juga, otak adalah alat untuk berpikir, jantung adalah alat untuk memompa darah dan oksigen, dan seterusnya semua itu adalah alat.

Dengan menyadari bahwa semua itu adalah alat, kita akan mulai menyadari, “alat dari siapakah semua itu?” Perhatikan, semua itu sesungguhnya adalah alat dari apa yang ada di dalam diri kita, itulah jiwa. Semua dalam tubuh kita dalam segala fungsinya adalah alat dari jiwa untuk menjalani hidup sehingga bisa jiwa bisa mengenal Sang Penciptanya agar paripurna hidupnya sesuai dengan tujuan dasar penciptaan agar Tuhan menunjukan eksistensi keberadaanNya dengan manusia mengenalNya.

Bagi yang suka kisah pewayangan, mari kita lihat juga Pandawa yang Lima, kelima unsurnya sama, bercerita tentang Badan, Pikiran, Perasaan, Jiwa, dan Ruh yang Pancer.


Bicara tentang pewayangan, ada cerita dalam wayang versi Indonesia, yang tidak ada dalam versi India, tentang Petruk dadi ratu, ketika Petruk menobatkan dirinya sendiri jadi Raja yang maha sakti, menurut kisahnya, ketika Petruk jadi Raja, tidak ada Jagad Dewa Batara yang mampu menandingi kesaktiannya, apalagi para Ksatria dan Raja-raja, semua lewat, sampai akhirnya Petruk didatangi bapaknya, Semar, yang kemudian menasehatinya dan Petruk pun menjadi cengengesan kemudian berubah wujud kembali menjadi Petruk biasa.


 Demikianlah, sebagaimana kisah Semar menundukan Raja Petruk, jiwa bisa menenangkan pikiran yang gelisah, pikiran yang tidak bisa berhenti berpikir, itulah, yang melahirkan kesusahan. Iya, betul, pikiranlah akar dari munculnya duka. Munculnya kesusahan adalah ketika kita terlalu banyak berpikir, dipikirin terus utang ini gimana, tetangga yang menyebalkan itu begini lagi, begitu lagi, dipikirin dan dipikirin.

Karenanya, mari kita mulai belajar untuk menggunakan pikiran sebagaimana mestinya saja, yaitu untuk hal-hal yang berdaya guna buat kita. Dari situ kita akan masuk kedalam rasa, rasa yang bukan berasal dari prasangka, amarah, maupun derita, namun rasa yang damai.

Dengan rasa yang damai, kita akan sampai pada ketenangan jiwa. Oleh karenanya, ketika pikiran dan perasaan gelisah, akseslah jiwa yang didalamnya ada kepasrahan dan kedamaian, tenangkan pikiran dengan jiwa yang berserah diri, mudah-mudahan atas karunia Tuhan pikiran dan perasaan menjadi tenang, sehingga tubuh pun mengikuti menjadi tenang, ketika keempat ini menjadi hadir dengan Jiwa yang memimpin Perasaan, Pikiran, dan Badan, maka saat itu kita akan mendapati jati diri kita yang utuh, pancer itu ada atas ijin dan karunia Tuhan.

Setelah pancer, seseorang akan bangkit, Anda akan bangun menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang akan jadi lebih menghargai Anda, Anda menjadi yakin bahwa kebutuhan-kebutuhan hidup Anda pasti terpenuhi, dan Anda akan jadi selalu merasa bersyukur karenanya.

Demikianlah, Anda jejeg berdiri sebagai diri Anda, walau Anda tidak menjadi orang terkaya di dunia, dan harta Anda hanya segitu-gitu aja, Anda bisa berdiri tegak dengan dada tegak, dengan muka tegak, dengan terhormat.

Buatlah koneksi antara badan, pikiran, dan perasaan dengan Jiwa, maka semua perjalanan hidup jadi bisa dilihat sebagai pelajaran kehidupan, ternyata kehidupan Anda, semua memang tentang diri Anda, ketika diri telah mengenal Diri, secara esensi spiritual Kehidupan adalah tentang Anda dan perjalanan hidup yang dianugerahkan Tuhan, sampai kepada kesadaran ini, jalan yang lurus menuju kenikmatan akan hadir dengan sendirinya.

Kita telah mendengar, katanya, "apabila kita bersyukur, maka kenikmatan akan bertambah". Ketika terus bersyukur, maka kenikmatan semestinya bisa menjadi langgeng. Kalau sudah begini, dimana letak berpayah dalam sabar? Maka, kita akan belajar memaknai sabar dengan berbeda, melihat bahwa sabar adalah proses yang harus dijalani sebaik-baiknya, sementara hasil, bagaimanapun yang diperoleh, selalu bisa disyukuri. Inilah makna dari kebahagiaan konstan yang menjadi tema dan judul dari buku.

Demikianlah, dengan ini, kita jadi tersadar, bahwa kebahagiaan Jiwa adalah pengetahuan yang tinggi dalam pembelajaran kehidupan, karena selain mendorong untuk berusaha sebaik-baiknya dalam mengaktualisasikan sumber daya diri, kita berkehendak untuk senantiasa bahagia dalam hasil apapun yang diterima perjalanan hidup kita, yaitu untuk bisa selalu bersyukur.

Ketika Kebahagiaan Jiwa yang menghasilkan kebahagiaan konstan, sudah mewujud dalam  perikehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, saat itulah Avatar-avatar bangsa telah lahir di bumi Nusantara.

“Raja Api dan Penguasa Batu, Imperialis dan Kapitalis, menyerahlah!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar