Sabtu, 25 Maret 2017

Jiwa yang Berkelana (1)

1
JIWA YANG BERKELANA 
(bagian 1)

Saya akan memulai dongeng ini dengan memberitahu bahwa apa yang didapat dari kebahagiaan Jiwa sebagai berkat dari Yang Maha Kuasa adalah jiwa yang tenang dan damai, jiwa yang merasa cukup, dan jiwa yang selalu bersyukur. Diibaratkan, kita terlahir kembali dengan jiwa ceria seperti anak-anak, yang suka bermain-main dan merayakan apapun setiap harinya.

Jiwa seperti anak-anak inilah kondisi jiwa yang matang, ketika jiwa Anda menjadi tenang dan damai, maka perasaan dan pikiran pun tenang dan damai, hidup menjadi penuh suka cita, itulah jiwa yang mendapat pencerahan dan Anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Yang menarik, pemahaman pelajaran tentang Jiwa ini tidak mesti bergantung kepada kecerdasan dan usia badan, diluar dari berapapun usia badan dan seberapapun pandainya kecerdasan Anda, akan susah untuk menangkap esensinya tanpa kematangan Jiwa yang ada di dalam jasad.

Matangnya jiwa itu ketika pengalaman hidup sudah bisa kita tarik benang merahnya, sudah bisa nyata bahwa segala perjalanan hidup itu ada pelajarannya buat kita, bukan kebetulan semua kisah hidup yang kita lalui. Sebelum menyadari ini, maka biarpun usia tua, kita bisa katakan jiwanya masih muda.

Dan mudah-mudahan hanya masih muda, tidak mati. Karena bila bawah sadar pikiran isinya sudah dipenuhi keburukan atau hal-hal negatif, itu bisa membunuh atau menutupi jiwa. Sehingga jiwa tidak bisa lagi memahami kebenaran ketika disampaikan, inilah maksud dari istilah jiwa yang buta, tuli, dan bisu.

Para pembaca yang budiman, sebelum dilanjut, saya mohon maaf, bahwa mungkin akan ada yang salah menangkap esensi yang ingin saya sampaikan pada bagian ini. Sehingga, apabila terjadi ketidaknyamanan, ingatlah selalu, ambil saja yang menurut Anda bermanfaat, yang belum dipahami, membingungkan, dan menimbulkan ketidaknyamanan, untuk sementara diabaikan saja.
Dan tentu, Penulis membuka pintu seluas-luasnya untuk diskusi sehingga maksud yang hendak disampaikan bisa menjadi lebih jelas dan terhindar dari kesalahpahaman.

Alat utama dari bahasan mendalam mengenai jiwa ini adalah 'imajinasi yang menjadi logika', bukan sekedar logika dasar atau umum.

Kita akan menggunakan mata ketiga yang imajinatif dan bukan kedua mata fisik. Kenapa diperlukan menggunakan imajinasi? Tidak lain agar bisa menyelesaikan permasalahan atas sesuatu yang real/nyata terjadi di kehidupan sehari-hari dengan cara yang paling efektif dan efisien.

Ibaratnya persamaan matematika, kita tahu ada bilangan asli (1, 2, 3, ...) dan bukan (0 misalnya), ada bilangan riil dan imajiner. Bilangan 0 ketika ditemukan dan bilangan imajiner yang jauh lebih kompleks dari angka 0 digunakan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak bisa diselesaikan atau dilakukan dengan penggunaan bilangan asli, tidak bisa menyelesaikan persamaan tingkat tinggi untuk bisa membuahkan solusi teknologi.

Ketika bilangan imajiner dimasukan ke persamaan tingkat tinggi tadi, ternyata persamaannya bisa diselesaikan dan bisa diaplikasikan di dunia nyata dengan hasil nyata dan fakta sebagaimana yang diharapkan.

Seperti apa contohnya di dunia nyata kehidupan kita? Listrik misalnya, listrik ditemukan dengan cara ini, dengan menggunakan bilangan imajiner dalam rumus-rumus fisikanya.

Bagi saya, apa itu bilangan imajiner secara kasar sifatnya seperti mimpi, bahkan seperti omong kosong, padahal nyata adanya. Dalam bahasan kali ini saya akan membawa Anda ke sebuah dongeng yang semacam omong kosong besar, namun menjadi bukan omong kosong ketika memang ada manfaatnya yang nyata yang bisa Anda petik.

Kita akan masuk ke sebuah imajinasi yang liar, sebuah tantangan untuk saling asah, asih dan asuh atas apa yang saya sampaikan, yaitu tentang jiwa yang berkelana dengan 'tanpa nama'

Kita mulai...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar